WAJAH BELAS KASIH ALLAH
Sabtu, 11 Maret 2023.
Ketika berjalan menuju kawah Gunung Bromo, aku berjumpa dengan seorang kakek. Kerutan di wajahnya menandakan betapa rentanya kakek. Ia duduk di samping jalan berpasir. Seorang diri. Di tangannya sebuah alat musik mirip gitar yang telah ia modifikasi sendiri. Kakek memetiknya dengan sangat indah. Dari jauh aku memperhatikan beberapa pejalan kaki dari anak-anak muda, ibu-ibu, bapak-bapak, yang berjalan sendirian maupun berpasangan tersandung dengan nyanyiannya. Mereka awalnya menoleh, memperpendek langkah, lalu berhenti dan menikmati suara sang kakek. Ada anak-anak muda yang hanya berlalu begitu saja sambil bermain smarthphone yang ada di tangan mereka, ada pula beberapa orang, setelah menikmati suara kakek berbaju hijau lumut itu langsung mengisi kotak rupiah, kemudian pergi. Ada orang yang mengambil beberapa kesempatan untuk sekadar duduk bercerita dengannya dan berlalu juga.
Kakek dan gitarnya
Kira-kira dua meter sebelum mendekat aku melihat kakek itu masih terus bernyanyi dengan riang dan bahagia. Lagu berbahasa Jawa itu memang terdengar menggembirakan sehingga dari jauh aku langsung terbawa suasana dan berjoget sembari mendekati sang kakek. Sejenak aku terus bergoyang mengikuti musik sang kakek. Kakek menatapku dengan tersenyum dan mengiringi gerakanku dengan terus bernyanyi. Betapa bahagianya. Sesekali kakek tertawa melihat tingkahku. Moment saat itu juga sempattertangkap oleh seorang Romo yang juga sedang menuju Kawah. Kakek tetap tersenyum di bawah sengat matahari, dan tentu dengan pasir yang berterbangan karena angin.
Demi Rupiah
Memasuki usia senjanya seharusnya sang kakek dapat menikmatinya dengan tenang dan damai. Namun, tidak semua orang bisa mendapatkan hal itu. Sebab kakek harus terus berjuang untuk menyambung hidupnya. bagaimanapun urusan perut tetap berjalan dan kakek adalah tulang punggung keluarganya. Perekonomian keluarganya sulit dan tercekik. Keinginannya sangatlah sederhana yakni perut istri dan cucunya dapat terisi. Sederhana tapi tak sederhana yang kakek perjuangkan. Tenaganya memang sudah tak lagi prima, tapi semangatnya tetap membara. Terik matahari tak menyulutkan semangatnya. Ia menggagahi deritanya dengan tidak mengeluh. Kakek berbaju lusuh terus menghibur para pengunjung berharap kotak kumal itu berisi rupiah.
Senyuman Kakek
Setelah meninggalkan kakek itu, sepanjang perjalanan menaiki tangga ke kawah, wajah sang kakek terus terbayang-bayang. Aku teringat pada almarhum kakek dan nenek yang juga suka bernyanyi menghibur cucu-cucunya. “Semoga mereka beristirahat dalam damai abadi,” pintaku. Beberapa menit ketika turun dari kawah, aku sudah menyiapkan sesuatu yang ada di dalam tas untuk diberikan lagi pada kakek sebab aku yakin ia masih ada. Dan ternyata benar. Ketika kakiku semakin mendekat aku melihat kakek masih duduk dengan memakai kain penutup mulut sebab debu dan pasir makin kencang beterbangan oleh tiupanangin. Ketika mendekat aku memberikan sebungkus keripik pisang kepada sang kakek. Hanya itu yang tersisa di tasku. Kakek menerima dengan sangat bahagia dan tersenyum lantas mengucapkan terima kasih. Senyumnya sangat tulus. Tatapannya penuh perjuangan. Melihat hal tersebut aku merasa kagum, sedih, dan prihatin. Lagi-lagi sang kakek seharusnya bisa menikmati masa tua dengan lebih tenang akan tetapi ia harus menjadi salah satu dari orang kecil yang berjuang untuk hidup. Ya, kakek adalah pejuang hidup.
Refleksi dari perjumpaan
Hanya beberapa menit saja aku bersama kakek. Seperti awal perjumpaanku tadi, sebelum pulang aku menemani kakek bernyanyi dan sekaligus berpamitan. Dalam perjalanan kembali ke Jeep ada hal yang mengusik hatiku. Sejenak muncul di benakku bahwa Tuhan sedang menampilkan wajah-Nya dalam diri orang-orang kecil. Aku melihat ada pengharapan yang besar dalam diri sang kakek. Saat itu aku sedang dalam banyak permasalahan yang membuat hari-hariku sedikit berantakan tapi ketika aku berjumpa dengan sang kakek hatiku teras damai. Entahlah, tapi itu yang aku rasakan. Bahkan sejenak aku melupakan semua persoalanku. Ada kebahagiaan tersendiri dalam hati. Apa ini salah satu cara Tuhan berkomunikasi dengan aku ketika aku menanyakan keberadaan-Nya?
Santo Vinsensius dan Rm. Paul Janssen, CM
Aku mengingat kembali kisah hidup St. Vinsensius yang mengalami kehadiran Tuhan dalam perjumpaannya dengan orang miskin. Hal yang sama menjadi bagian dari pengalaman hidup Bapak Pendiri, Rm. Paul Janssen, CM. Melalui peristiwa-peristiwa kecil yang sedang terjadi menyadarkan bahwa Tuhan hadir dan menampakkan wajah belas kasih-Nya dalam perjalanan itu supaya aku turut berbelas kasih bagi sesama yang juga menderita. Aku yang seringkali masa bodoh dengan keadaan tersadarkan kembali bahwa aku terpanggil untuk memberi kasih kepada sesama. Aku menemukan bahwa inilah cara Tuhan untuk menyatukan manusia dalam kasih-Nya. Hal lain yang menguatkan adalah bahwa dalam Injil, Tuhan Yesus selalu berpihak pada orang kecil, orang lemah. Ia selalu ada bagi mereka yang miskin, pendosa, pemungut cukai, mereka yang sakit, dan mereka yang terpinggirkan. Dalam diri orang kecil, Yesus menampakkan wajah belas kasih Allah.
Menyadari Kasih Allah
Perjumpaanku dengan orang-orang kecil, menyadarkan aku akan kasih Allah dalam hidup manusia khususnya aku sendiri. Perjumpaan dengan orang kecil tidak membuat aku bersyukur karena tidak hidup menderita, tapi membuat aku bersyukur karena aku boleh mendapat kesadaran baru betapa lemahnya aku ketika berhadapan dengan tantangan, betapa pengecutnya aku yang tidk berani menghadapi masalah. Sebagai seorang suster muda yang juga menghidupi spirit St. Vinsensius yang menjadi warisan Bapak Pendiri yaitu Rm. Paul Jansssen, CM di mana mereka sungguh-sungguh mencintai orang miskin dan menderita. Dalam perjumpaan dengan orang miskin, mereka menemukan Tuhan di dalam orang-orang yang mereka jumpai.
Mengalamai kehadiran Allah
Seluruh proses yang terjadi pada pekan kedua ini menghantarku pada bagaimana aku belajar mengalami kehadiran Tuhan dalam diri orang miskin melalui St. Vinsensius a Paulo dalam hidup dan karyanya yang juga menjadi bagian dari hidup Rm. Paul Janssen, CM pengikutnya. Permenungan ini juga menghantar saya menghayati panggilan sebagai seorang sekular yang hidup di dalam dunia tapi bukan dari dunia dan hidupnya untuk dunia di mana saya berjuang untuk menjadi ragi injil di tengah-tengah dunia. Merenungkan diri sebagai seorang sekular membuat saya kembali pada semnagat pendiri dan menterjemahkannya dalam dunia dewasa ini.
Kharisma Rm. Janssen, CM
Salah satu hal yang sungguh menarik dan sungguh istimewa dari kehidupan sebagai seorang sekular adalah dari corak hidup dan charisma bapak pendiri dalam Statuta ALMA Puteri no 22: yakni serumah, sekamar, semeja makan, sehati dan sejiwa dengan anak/orang disabilitas dan menjalin relasi dengan mereka sebagai seorang Ibu. Seorang ibu yang tidak hanya sekadar memberi makan, merawat tetapi juga memberdayakan mereka, memandirikan mereka sebisa mungkin. Santo Vinsensius mengatakan:” “Tuhanku telah memanggilku untuk melayani Dia, “Yesus Kristus”, dalam diri orang miskin” dengan demikian “Cinta yang afektif mesti berlanjut pada cinta yang efektif”. Dan Romo Janssen pun menegaskan hal yang sama dan mengharapkan supaya wisma bukanlah tempat penampungan tetapi wisma adalah tempat anak bertumbuh, berkembang dalam pemberdayaan.
Spiritualitas Kerasulan
Visi awal Vinsensius yang juga diwariskan oleh Romo Janssen adalah: mengikuti jalan Kristus untuk menginjili orang-orang miskin, dengan mengalami sendiri kemiskinan itu, berhadapan langsung dengan kebutuhan orang miskin dan mendukung mereka. Vinsensius menganjurkan untuk lebih memiliki spiritualitas kerasulan daripada biara: bertahan hidup di keriuhan dunia dan di keheningan dalam hati. Perjalanan panggilan ini diarahkan pada pelayanan yang tranformatif artinya bahwa yang membawa perubahan, yang berdampak baik untuk semua yang dilayani.
Dalam hidup sehari-hari aku peristiwa ini membangunkanku untuk kembali dan turut ambil bagian dalam karya pewartaan dimana aku terpanggil di dalamnya, yaitu untuk merangkul sesama supaya boleh terus-menerus memberi kasih pada setiap orang dan pada setiap kesempatan dalam hidup aku. Sebab dari mereka yang kesusahan, Tuhan menegur aku supaya dapat mengoptimalkan diri dalam jalan panggilan. Tidak mengeluh melainkan terus bersyukur dan memberikan pengharapan kepada orang lain yang aku layani, dan yang aku jumpai.
Griya Samadhi Vincentius – Prigen – Paviliun Cactus 29 – Kamis, 23 Maret 2023 (Wajah Belas Kasih Allah. Disalin dari Jurnal Harian Pribadi Sr. Tia Unitly, ALMA) Malam tanpa bintang.
Baca juga: Kursus Persiapan Kaul Kekal ALMA Puteri
1 thought on “WAJAH BELAS KASIH ALLAH”